FaktaIKN.id, PONTIANAK – Sultan Pontianak IX, Syarif Melvin Alkadrie, mengeluarkan siaran pers resmi yang menolak keras penggunaan kontrak kolonial Belanda tahun 1857 sebagai dasar hukum penegasan batas wilayah Pulau Pengikik.
Syarif Melvin, yang juga merupakan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia dari Dapil Kalimantan Barat, menegaskan bahwa pulau tersebut secara historis dan hukum adalah bagian tak terpisahkan dari Kalimantan Barat.
Sultan Tegas Tolak Penggunaan Kontrak Kolonial 1857
Sikap tegas ini muncul sebagai respons atas kembali dimunculkannya dokumen kontrak kolonial tahun 1857 yang dijadikan rujukan oleh Pemerintah Kabupaten Bintan, Provinsi Riau, untuk menegaskan wilayah Administratif Desa Pulau Pengikut Kecamatan Tambelan. Dokumen ini menjadi dasar Pasal 20 ayat (8) Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 19 Tahun 2007.
Dalam siaran persnya, Sultan Syarif Melvin menjelaskan bahwa kontrak kolonial 1857 tidak memiliki legitimasi dalam sistem hukum nasional Indonesia saat ini.
Ia menekankan bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dokumen tersebut dikategorikan sebagai “submission treaty” atau perjanjian penaklukan yang dibuat di bawah tekanan penjajah.
Oleh karena itu, perjanjian semacam ini tidak memiliki kekuatan hukum dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Sultan juga menyoroti bahwa Kesultanan Riau-Lingga, pihak dalam kontrak tersebut, telah dibubarkan oleh Belanda pada tahun 1911, secara otomatis menggugurkan efek hukum dari kontrak yang dimaksud.
Perda Bintan Dinilai Cacat Hukum dan Prosedural
Syarif Melvin menilai Perda Bintan tersebut tidak hanya cacat hukum namun juga berpotensi memicu konflik wilayah.
Ia menyoroti adanya “penyelundupan norma hukum” karena meskipun Pasal 20 ayat (8) Perda menyebutkan batas timur dengan Pulau Datuk, namun peta wilayah yang menyertainya justru menyisipkan Pulau Pengikik sebagai bagian dari Kabupaten Bintan.
Selain itu, ia menekankan adanya kejanggalan prosedur karena Kabupaten Mempawah sebagai wilayah yang berbatasan langsung tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan berita acara batas wilayah antara Provinsi Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat.
Hal ini melanggar Asas Umum Pemerintahan yang Baik serta ketentuan Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah.
Sejarah Kepemilikan Pulau Pengikik
Syarif Melvin menegaskan bahwa Pulau Pengikik memiliki akar sejarah yang kuat dengan Kalimantan Barat. Secara historis, pulau ini berada pada jalur niaga Kesultanan Pontianak dan merupakan bagian integral dari Afdeeling Westerafdeeling van Borneo di masa pemerintahan Hindia Belanda.
Kedudukan hukum Pulau Pengikik kemudian diperkuat ketika menjadi bagian dari Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan Protokol Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, dan setelahnya masuk dalam struktur administrasi Kabupaten Mempawah.
Sultan menegaskan bahwa Pulau Pengikik “tidak pernah menjadi bagian dari wilayah administratif Kepulauan Riau atau Sumatera Tengah.”
Secara resmi, Sultan Syarif Melvin Alkadrie menyatakan:
“Saya, Sultan Syarif Melvin AlKadrie, dengan kewenangan saya sebagai Sultan Pontianak Ke IX di Istana Kadriah Kesultanan Pontianak dan Sebagai Anggota DPD RI Dapil Kalimantan Barat, menolak segala bentuk penggunaan dokumen kontrak kolonial 1857 sebagai dasar hukum untuk penetapan batas awal wilayah Perbatasan Desa Pegingkit Kecamatan Tambelan Kabupaten Bintan Provinsi Riau saat ini dengan Provinsi Kalimantan Barat, karena Pulau Pengikik tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan hukum nasional Indonesia.”
Langkah Konstitusional dan Dukungan Pemerintah Provinsi
Sebagai perwakilan daerah di tingkat nasional, Syarif Melvin mendesak Kementerian Dalam Negeri dan Badan Informasi Geospasial untuk segera meninjau ulang batas wilayah Pulau Pengikik.
Ia merekomendasikan pembentukan tim kajian khusus yang melibatkan sejarawan, ahli geospasial, dan ahli hukum tata negara, serta mendesak revisi kebijakan nasional terkait warisan batas kolonial.
Baca Juga: Polemik Pulau Pengikik: Akademisi Ingatkan Penetapan Wilayah Tak Bisa Sepihak
Sikap tegas ini sejalan dengan pernyataan Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan, yang juga tengah mempelajari persoalan ini dan menyatakan kesiapannya untuk melawan secara hukum apabila terbukti secara historis bahwa Pulau Pengikik adalah milik Kalimantan Barat.
Syarif Melvin menegaskan bahwa penentuan batas wilayah harus tunduk pada konstitusi, Undang-Undang, dan prinsip keadilan sosial, bukan semata-mata pada peta kolonial yang bias.
(*Red)














